Sabtu, 27 Maret 2010

Guru dan Buruh

Oleh D Kemalawati
Guru jangan seperti buruh. Itu permintaan Wapres Jusuf Kalla, ketika membuka silaturahmi nasional Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI), Jumat (14/11) lalu. Katanya, guru juangan lalu melihat perbedaan-perbedaan tapi melihat persamaan agar tidak terjadi konflik. Sebab kalau selalu berbeda, maka akan seperti buruh (Serambi, 15/11-2008).
Pernyataan Wapres itu bermuara pada keinginannya, agar semua guru harus bernaung di bawah satu wadah organisasi, dan wadah yang dimaksud adalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). “Semua harus bernaung pada PGRI, karena kalau hanya Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) saja nanti akan muncul organisasi lain.” Tentu maksud beliau karena tak ingin guru teepecah-pecah dengan banyaknya organisasi seperti yang dialami para buruh.
Berkait guru, setdaknya ada tiga hal menarik dari pidato Wapres RI itu. Pertama, soal dukung atau menolak sesuatu. Kedua, harapan agar profesi guru tidak seperti burh. Ketiga, guru harus bersatu dan hanya satu wadah organisasi bernama PGRI.
Namun, mungkinkah hal itu bias diwujudkan?
Berkait dengan dukung mendukung, beberapa hari lalu harian ini (Serambi, 7/11) memberitakan ratusan guru di Nagan Raya yang bergabung dlam Koalisi Barisan Guru Berstu (Kobar GB) berunjuk hari di halaman kantor DPRK Nagan Raya. Mereka mendesak Kadis Pendidikan Daerah itu (Dra Hj Cut Intan Mala) dicopot. Kasusnya minta uang TC guru dinaikkan hingga mencapai satu juta rupiah. Kecuali itu, adanya mutasi guru yang menurut pengunjuk rasa sangat sarat kepentingan. Aspirsi guru itu, seperti biasa selama dijanjikan akan ditindaklanjuti.
Sehari kemudian (Sabtu, 8/11) masih di Nagan Raya, giliran guru yang tergabung dalam wadah PGRI berunjuk rasa. Mereka memilih lokasi halaman kantor Bupati. Aksi unjuk rasa yang dipimpin ketua umum PGRI Nagan Raya, Drs Falita Alam, berisi pernyataan sikap guru di depan Bupati Nagan Raya, Drs. T Zulkarnaini, yang mendukung kebijakan Dinas Pendidikan Nagan Raya terhadap mutasi guru sebagai upaya pemerataan pemdidikan, peningkatan professional guru dan peningkatan kesejahteraan guru sesuai dngan kemampuan daerah.
Dua organisasi guru (PGRI dan Kobar) bertolak maksud. Dan oleh Kadis Pendidikan NAD, Mohd Ilyas SE, menanggapi aksi itu sebagai wujud dari demokrasi (Sermbi, 12/11-2008). Tanggapan itu dapat dimaknai, para guru yang tergabung dalam wadahnya masing-masing meski ada yang menolak atau mendukung sesuatu atas nama organisasi, namun sebagai guru tetap tidak boleh terpecah.
Jadilah Guru
Guru (Kamus Besar Indonesia) adalah orang yang pekerjaannya mengajar. Ini beda kontras dengan bury, yaitu orang yang bekerja dengan mendapat upah. Bahwa guru identik dengan orang yang memiliki pengetahuan luas, ilmunya bida dipercaya dan masyarakat menggantungkan harapan dan kepercayaann kepada guru untuk mendidik dan memberikan contoh yang baik bagi anak-anaknya. Sementara buruh, identik dengan pekerja kasar, kurang pendidikan dan selalu menjadi kelompok yang dimarjinalkan. Dengn demikian, meskipun ada persamaan bunyi pada kata guru dan buruh, apakah guru dapat disamakan dengan buruh?
Menurut Jusuf Kalla, banyaknya organisasi buruh menyebabkan para buruh terpecah. Analogi dari pernyataan itu adalah apabila banyaknya organisasi yang mengurus kepentingan guru maka guru akan terpecah. Kalau guru terpecah maka guru akan sama seperti buruh. Supaya guru jangan terpecah maka guru harus bernaung pada PGRI.
Apa yang bias diharap dalam naungan PGRI? Dan mengharap guru hanya bernaung di bawah satu paying yaitu PGRI, mungkin bukan harapan seorng Wakil Presiden dalam tatanan Negara demokrasi, akan tetapi lahir dari seorang tokoh Golkar abadi yang sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden. Karena walau bagaimanapun juga sejarah mencatat bahwa PGRI adalah suatu organisasi yang sangat lama mendukung Golkar pada masa Orde Baru.
Menjamurny organisasi yang mengurus suatu bidang pekerjaan atau profesi tidak lepas dari banyaknya problematika yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari sebuah pekerjaan bersama. Banyak sekali persoalan yang melilit kaum buruh dan itu pula yang menyebabkan berbagai pihak yang merasa mampu lalu membuat organisasi yang tujuan utamanya memperjuangkan perbaikan nasib buruh. Organisasi-organisasi itu memiliki visi dan misinya serta pola gerakannya yang berbeda. Meskipun tak jarang organisasi buruh yang menabalkan dirinya sebagai organisasi yang tegas-tegas membela kaum buruh hanya hanya bertujuan memarjinalkan kaum buruh itu sendiri demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Bahkan yang paling ekstrim pembentukan suatu organisasi yang labelnya memperjuangkan hak buruh ternyata hanya kedok untuk memuluskan tujuan politik dari suatu partai atau golongan.
Demikian halnya dalam bidang profesi guru. Dibentuknya beberapa organisasi guru juga bertujuan untuk memperjuangkan hak dan martabat guru. Organisasi gurtu yang tertua di negeri ini lahir dengan nama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Semula tujuannya adalah (1) memberla dan mempertahankan Republik Indonesia (Organisasi Perjuangan); (2) memajukan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) membela nasib guru pada hususnya dan nasib buruh pada umumnya.
Visi dan misi PGRI yang lahir 100 hari setelah Indonesia merdeka, tepatnya tanggal 25 Nopember 1945 di Surakarta itu sempat terkontaminasi. Pada tahun 1966 PGRI mendirikan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia) yang terdiri dari PGRI, IGM (Muhammadiyah) PG Perti, Pergunu, PGII, Perdukri, PGK (Katholik), PGM(Marhaenis). Pembentukan organisasi yang terhimpun di bawah KAGI ternyata tak luput dari unsure kepentingan politik. Bahkan jelas-jelas dari nama organisasinya saja sudah menunjukkan partai politik mana yang mereka dukung. Memang hal di atas tidak berlangsung laa. Tepat setahun kemudian melalui Kongres PGRI ke XII di Bandung. KAGI meleburkan diri ke dalam PGRI, menanggalkan baju parpol dan kembali bicara guru.
Meski sudah menyatakan menanggalkan baju parpol pada tahun 1967, persoalan dukung mendukung dalam tubuh organisasi guru ini tak pernah benar-benar tenggelam. Kadang muncul di permukaan dengan terang-terangan, kardang tiarap menata nafas, kadang pura-pura tenggelam. Pada masa Orde Baru organisasi ini mendukung parpol berlambang pohon beringin, hingga Kongres ke XVIII tahun 1988 di Lembang, PGRI memutuskan untuk keluar dari Golkar dan menyatakan diri kembali sebagai organisasi perjuangan (cita-cita proklamasi kemerdekaan dan kesetiaan PGRI hanya pada bangsa dan NKRI).
Hingga saat ini, organisasi guru yang memiliki anggota terbesar memang PGRI. Tetapi sebagai wara Negara yang hidup di alam demokrasi maka tentu tak berdosa apabila guru mebentuk wadah lain seperti Persatuan Guru Madrasah Indonesia (PGMI) yang bersilaturhmi ke Istana Wakil Presiden, beberapa waktu yang lalu.
Di Aceh sendiri, meski tak banyak organisasi guru yang lahir, setidaknya selain PGRI, organisasi guru seperti Kobar GB NAD telah pula mengambil bagian dalam memperjuangkan nasib guru. Meskipun pola gerakan masing-masing organisasi berbeda, tujuan mereka adalah sama. Memperjuangkan harkat dan martabat guru. Perbedaan tidak mesti disamakan dengan perpecahan. Semoga perbedaan pola gerakan yang kini dilakoni organisasi guru tidak menjadikan guru seperti buruh.
* penulis adalah guru SMK Negeri 2 Banda Aceh.

Selasa, 02 Maret 2010

Tunjangan Belum Disalurkan

3 Maret 2010, 10:22 Serambi Indonesia

Guru Depag Mengeluh

MEULABOH-Rapelan tunjangan fungsional guru madrasah jajaran Departemen Agama (Depag) di pantai Barat Aceh, meliputi Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Jaya bersumber dari APBN 2009 dilaporkan hingga kemarin belum disalurkan. Akibatnya, ribuan guru dalam kabupaten bertetangga ini mengeluh dan menilai adanya diskriminatif, sebab untuk guru Dinas Pendidikan di tiga kabupaten itu sudah tuntas disalurkan Rp 250 ribu/bulan.

Ketua Koalisi Guru Bersatu (Kobar-GB) Aceh Barat, Feryzal kepada Serambi , Selasa (2/3) mengungkapkan guru madrasah jajaran Depag banyak mempertanyakan kenapa guru Depag belum disalurkan, tetapi dinas pendidikan sudah tuntas. “Harapan kami, Depag segera menyalurkan dana yang sudah menjadi hak guru itu,” ujarnya.

Diakuinya, keterlambatan penyaluran uang yang sudah ditransper pemerintah pusat akan berdampak buruk, sebab akan terkesan uang mengendap, sehingga timbul diskriminatif antara guru Dinas Pendidikan dan guru Depag. Karena itu, kepada pimpinan Kantor Wilayah Depag Aceh dan Kantor Depag kabupaten tidak membiarkan kondisi ini akan berlarut, sebab akan timbul kesan uang ini diperlambat proses penyaluran.

Kakadepag Aceh Barat, M Arif Idris ditanyai kemarin mengatakan persoalan ini supaya dihubungi Kasi Mapenda Depag Aceh Barat, Afdhal. Dan Kasi Mapenda ditanyai terpisah mengakui bahwa dana rapelan tunjangan fungsional guru madrasah memang belum cair. “Memang sampai sekarang belum disalurkan oleh Kanwildepah,” ujarnya.

Menurutnya, belum disalurkan dana ini disebabkan surat edaran masih belum jelas sehingga masih menunggu juknis yang lebih jelas. Dan hasil konfirmasi dengan Kanwildepag dan seluruh Kantor Depag se-Aceh, dana fungsional rapelan ini belum ada satu pun yang disalurkan. “Untuk Depag surat edarannya berbeda dengan surat edaran guru Dinas Pendidikan,” jelas Afdhal.

Nagan dan Aceh Jaya

Ketua Kobar-GB Nagan Raya, Zulaidi Syah kemarin mengungkapkan bahwa guru madrasah jajaran Depag Nagan mempertanyakan terhadap kapan fungsional guru ini disalurkan. Dan ia berharap dana yang sudah menjadi hak guru segera disalurkan sehingga tidak terjadi perbedaan antara guru madrasah Depag dan guru sekolah Dinas Pendidikan. Sebab dana ini adalah sama diberikan pemerintah masing-masing Rp 250 ribu/guru.

Ia juga mengatakan cemas terhadap bila memang aturan mengatakan dana ini harus disalurkan tepat waktu, sebab bila terlambat harus dikembalikan lagi ke pusat. “Harapan kami dari Kobar GB dengan banyak guru madrasah mengadu, ya segera salurkan,” ujar Zulaidi Syah. Ketua Kobar GB Aceh Jaya, Masrul juga mengatakan hal serupa bahwa berharap tunjangan fungsional guru madrasah segera diberikan.(riz)